Aktifitas penambangan timah ilegal
Ratusan Ponton Timah Ti Apung Kembali Beraktifitas Di Zona Zero Tambang Laut Bakik Teluk Kelabat

Photo : Ponton Ti Apung di perairan Teluk Kelabat Dalam
BANGKA BARAT AKTUALDETIK.COM - Perairan laut Bakik di Kecamatan Paritiga Kabupaten Bangka Barat merupakan salah satu daerah nelayan tangkap dan masyarakat pesisir menangkap ikan sebagai mata pencaharian masyarakat setempat untuk menafkahi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Laut Bakik dalam satu hamparan perairan Teluk Kelabat Dalam, laut Belinyu dan sekitarnya, serta masih menyimpan potensi cadangan pasir timah yang melimpah, daerah tersebut salah satu cadangan deposit timah di IUP milik perusahaan tambang PT Timah Tbk.
Sehingga diperairan laut Bakik dan sekitarnya menjadi incaran para penambang timah ilegal baik jenis ponton apung Ti Rajuk dan Ponton apung Ti Selam.
Meskipun sebagian luasan IUP PT Timah untuk di exploitasi sudah dibebaskan oleh perusahaan tambang milik negara tersebut atau dikembalikan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) setempat, lantaran saat itu perairan laut Bakik di IUP PT Timah Tbk tidak leluasa untuk di exploitasikan dikarenakan daerah tersebut merupakan daerah kawasan tangkapan nelayan dan masyarakat pesisir yang sebagian besar masih mengantungkan hidupnya sebagai nelayan.
Selain itu, keputusan yang diambil oleh perusahaan tambang milik negara saat itu lebih bijak untuk menghindari konflik atau gesekan dengan masyarakat nelayan dan pesisir setempat lantaran masyarakat menolak adanya aktifitas penambangan.
Kini, ada ratusan ponton apung Ti Rajuk dan Ti Selam kembali beraktifitas menambang di laut Bakik dan sekitar di wilayah perairan Teluk Kelabat Dalam yang dikoordinir cukong timah alias kolektor timah disinyalir mempunyai jaringan yang kuat dengan oknum Aparat Penegak Hukum (APH) Bangka Belitung (Babel) untuk membangun komunikasi dan komitmen, sehingga timbul disebut dengan istilah sistem 'Koordinasi'.
Diketahui, sebelumnya ratusan ponton apung ti Rajuk dan Selam dulunya sempat beraktifitas menambang di laut Bakik dan sekitarnya, sempat berhenti setelah mendapatkan protes keras dari masyarakat nelayan dan pesisir setempat, akhirnya aktifitas penambangan timah ilegal itupun ditertibkan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) Bangka Belitung (Babel).
Saat itu tampak masyarakat nelayan dan pesisir berjuang habis-habisan memperjuangkan perairan laut agar tidak ada penambangan didaerah nelayan tangkap, berbagai macam usaha yang dilakukan oleh masyarakat nelayan dan pesisir bersama tokoh masyarakat setempat menolak penambangan timah di laut Bakik perairan Teluk Kelabat Dalam dan sekitarnya.
Dari mulai mendatangi wakil rakyat di DPRD Kabupaten dan DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk mengadu atau menyampaikan aspirasi masyarakat nelayan dan pesisir menolak penambangan timah dengan alasan diperairan itu daerah tangkap nelayan sebagai tempat mereka mencari makan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Selain itu, perwakilan masyarakat nelayan pun sempat melayangkan surat ke Presiden Jokowi, Kapolri, Panglima TNI dan Kepala Staf Kepresidenan melaporkan aktifitas penambangan timah ilegal yang disinyalir dikoordinir cukong timah dan dibeking oknum APH Babel.
Konflik tersebut masih membekas dalam ingatan publik Bangka Belitung (Babel) penolakan masyarakat nelayan dan pesisir terhadap aktifitas penambangan ponton apung ti Rajuk dan Selam di perairan Teluk Kelabat Dalam, dan saat itu sempat terjadi konflik berdarah antar masyarakat yang pro dengan kontra tambang,sehingga saat itu terjadi sampai penyerangan ke Pospam timah yang dikoordinir cukong timah.
Bahkan sampai pembakaran terhadap rumah warga yang terlibat konflik aktifitas penambangan timah ilegal di perairan Teluk Kelabat Dalam, meskipun saat itu tidak terjadi korban jiwa, namun cukup membuat APH Babel kewalahan untuk mengantisipasinya agar konflik tidak meluas kedaerah lainnya.
Namun, saat ini di laut Bakik perairan Teluk Kelabat Dalam dan sekitarnya, terpantau oleh jejaring media ini ada ratusan ponton ti Rajuk dan Selam yang sudah beberapa pekan beraktifitas menambang pasir timah, sepertinya tidak ada lagi masyarakat nelayan dan pesisir yang peduli dengan laut Bakik, dan suara teriakan masyarakat nelayan dan pesisir yang diklaim daerah yang ditambang sebagai daerah tangkap nelayan.
Padahal daerah perairan tersebut dilindungi produk hukum yakni Perda Nomor 3 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Publik Babel pun bertanya, apakah masyarakat nelayan dan pesisir saat ini takut lantaran tidak lagi tokoh masyarakat yang mewakili mereka berani berkoar ? Atau takut dengan bos timah atau cukong timah yang kuat dan dekat dengan APH Babel? Atau sudah disumpal dengan jatah fee yang oleh panitia yang mewakili masyarakat nelayan?
Tampaknya sekali ini masyarakat nelayan dan pesisir benar-benar kehilangan sosok pejuang tokoh masyarakat yang peduli dengan nasib mereka dan kelangsungan kelestarian ekosistem di laperairan laut yang terbebaskan dari pencemaran lingkungan hidup akibat aktifitas ponton-ponton Ti apung.
"Kalau saat ini kami hanya bisa pasrah saja, kami nih nelayan kecil mana berani bersuara lagi apalagi mau melawan orang berduit, bapak kan tahu bos timah tu orang berduit, dan apalagi tidak ada tokoh masyarakat yang peduli dengan nelayan-nelayan kecil seperti kami," ungkap AM (55) lelaki paruh baya yang mengaku nelayan Bakik saat diwawancarai oleh jejaring media ini, Rabu (28/07/2021).
Ketika disinggung apakah ada kontribusi dari panitia yang mengurus ponton Ti apung, justru AM tidak mengetahuinya, namun jika dirinya diberikan kontribusi sebagai kompensasi dari aktifitas penambangan di laut Bakik, ditegaskan dirinya menolak pemberitaan bantuan tersebut, dan adanya aktifitas penambangan di daerah tangkap nelayan.
"Kalaupun ada saya tidak mau menerimanya, karena kerusakan dari penambangan di daerah tangkap nelayan membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya untuk kembali ikan-ikan berkembang biak di laut Bakik, kontribusi yang diberikan mereka paling-paling hanya bisa bertahan 3 hari saja untuk bertahan hidup, tapi setelah mereka pergi, kami dan anak cucu nelayan bisa bertahun-tahun tidak bisa menangkap ikan akibat dari kerusakan tersebut," Kata AM dengan tatapan mata haru.
Diungkapkannya, saat ini nelayan kecil seperti mereka kehilangan sosok tokoh masyarakat yang peduli dengan mereka, justru kini sosok tokoh itu menghilang bahkan tidak lagi ambil pusing terhadap kerusakan lingkungan perairan laut di daerah tangkap nelayan.
Hal senada, juga diungkap oleh SP (45) warga nelayan Cupat, MS (35) warga nelayan Bakik yang lainnya, juga mengungkapkan keinginannya masyarakat nelayan dan pesisir agar aktifitas ponton-ponton ti rajuk dan ti selam tidak menambang dilaut Bakik namun mereka pun melarang jika masyarakat penambang di luar Bakit.
"Kami hanya minta tolong kepada masyarakat penambang dan kolektor timah yang mengkoordinir ponton-ponton ti apung tidak menambang di laut Bakik, silakan diluar daerah tangkap nelayan, hargai kami masyarakat kecil ini pak,"ungkap MS sembari menutup kedua tangan seperti menyampaikan pesan permohonan.
(Rikky Fermana)
Bagi masyarakat yang memiliki informasi atau mengetahui kejadian/peristiwa dimanapun atau ingin berbagi foto dan video, silakan dikirim ke nomor WA: 0812 6830 5177 - Atau EMAIL redaksi : [email protected].
JANGAN LUPA
Mohon dilampirkan data pribadi.
Komentar Via Facebook :