Kasus Tom Lembong dan Hasto: Ketika Abolisi dan Amnesti Menjadi Solusi Politik Hukum

Kasus Tom Lembong dan Hasto: Ketika Abolisi dan Amnesti Menjadi Solusi Politik Hukum

Foto : Penulis (Muhammad Taufiq)

Aktualdetik.com, Semarang – Dalam dinamika hukum dan politik nasional yang semakin kompleks, kebijakan Presiden Prabowo Subianto dalam memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto menjadi sorotan publik sekaligus penanda arah baru dalam penyikapan negara terhadap konflik hukum-politik.

Abolisi - penghapusan tuntutan pidana oleh Presiden sebelum putusan pengadilan dijatuhkan - diberikan kepada Tom Lembong, yang selama ini dikenal sebagai tokoh teknokrat pro-reformasi dan mantan menteri. Sementara itu, amnesti, yakni pengampunan pidana setelah vonis dijatuhkan, diberikan kepada Hasto Kristiyanto, tokoh politik senior dari kubu oposisi yang sempat menjalani proses hukum atas tuduhan pelanggaran tertentu.

Kebijakan ini menimbulkan berbagai tafsir. Sebagian kalangan menilai sebagai langkah rekonsiliasi politik nasional, merangkul elemen-elemen berbeda yang sempat berseberangan dalam kontestasi politik. Namun, sebagian lain memandangnya sebagai langkah strategis yang bernuansa politis, dengan risiko menggerus kepercayaan publik terhadap supremasi hukum.

Dalam sejarah politik Indonesia, penggunaan hak prerogatif Presiden untuk memberikan abolisi dan amnesti bukan hal baru. Namun, momentum dan sosok penerima membuat kebijakan ini punya resonansi besar terhadap persepsi publik, utamanya dalam mengukur komitmen pemerintah terhadap penegakan hukum yang berkeadilan dan inklusivitas demokrasi.

Kebijakan ini perlu dibaca dalam bingkai yang lebih luas: apakah ini tanda restorasi demokrasi yang mengedepankan penyatuan bangsa? Ataukah hanya kalkulasi politik untuk menjaga stabilitas kekuasaan?

Apapun itu, masyarakat kini menanti penjelasan lebih utuh dari Istana: apa dasar moral, hukum, dan urgensi politik dari pemberian abolisi dan amnesti ini? Apakah ada mekanisme kontrol publik terhadap keputusan seperti ini di masa depan?

Yang jelas, keputusan Presiden Prabowo ini akan menjadi preseden penting yang akan terus diperbincangkan dalam kajian hukum tata negara dan praktik politik nasional.

Tentu, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Presiden memiliki kewenangan konstitusional untuk memberikan abolisi dan amnesti sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Namun, dalam praktiknya, pemberian ini tidak sekadar administratif. Ia selalu mengandung dimensi etis dan politis yang tidak bisa diabaikan.

Misalnya, pemberian abolisi kepada Tom Lembong bisa dibaca sebagai upaya Presiden meredam eskalasi politik dari tokoh yang dikenal memiliki jaringan luas di kalangan internasional dan dunia usaha. Dengan menghapus tuntutan hukum sebelum vonis dijatuhkan, Presiden seperti ingin menyampaikan bahwa negara tidak ingin memenjarakan perbedaan pandangan dalam bentuk kriminalisasi kebijakan.

Sementara itu, amnesti kepada Hasto Kristiyanto, pasca-putusan pengadilan, memberikan sinyal bahwa Presiden membuka ruang penyelesaian konflik politik dengan pendekatan pengampunan, bukan semata penghukuman. Di satu sisi, ini bisa dilihat sebagai penguatan harmoni politik nasional, namun di sisi lain menimbulkan pertanyaan: apakah proses hukum sudah selesai dengan adil? Apakah keadilan substantif tercapai?

Sejarah mencatat, presiden sebelumnya pernah menggunakan hak amnesti dan abolisi, seperti Presiden Soekarno saat memberi amnesti kepada para pemberontak PRRI-Permesta, dan Presiden BJ Habibie kepada tokoh-tokoh politik pasca-Orde Baru. Namun, konteks saat ini jauh berbeda: masyarakat sipil kini jauh lebih kritis, media bebas, dan ruang digital memungkinkan pengawasan publik lebih intens.

Karena itu, akuntabilitas keputusan ini menjadi krusial. Transparansi dasar pertimbangan hukum dan politik dari keputusan Presiden harus dijelaskan kepada publik. Apalagi jika keputusan tersebut menyangkut tokoh publik, tokoh partai, atau pejabat yang punya pengaruh besar dalam dinamika kekuasaan.

Keputusan ini juga seharusnya menjadi menjadi momentum refleksi bagi institusi penegak hukum, agar proses penegakan hukum tidak ditafsirkan sebagai alat politik. Kepercayaan publik hanya bisa dibangun jika aparat hukum bekerja secara independen dan profesional, serta tidak menjadi alat kompromi elit.

Presiden Prabowo, yang datang dengan janji “rekonsiliasi nasional” dan “stabilitas dengan keberanian”, perlu membuktikan bahwa keputusan pengampunan bukan sekadar bagi-bagi kekuasaan, melainkan untuk kepentingan bangsa secara jangka panjang. Hal ini harus terus diawasi oleh masyarakat sipil, akademisi, dan media.

Penggunaan hak abolisi dan amnesti oleh Presiden Prabowo dalam kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto membawa pesan besar dalam kehidupan berbangsa: bahwa politik dan hukum tak pernah bisa benar-benar dipisahkan. Tapi justru karena itu, keduanya harus dijalankan secara transparan dan berkeadilan.

Rekonsiliasi bukan berarti mengabaikan hukum, dan hukum yang adil tidak berarti tanpa empati politik. Di antara dua kutub itulah, negara harus berdiri tegak dengan keberanian, keadilan, dan kejujuran.

Penulis : M.Taufiq

Komentar Via Facebook :

Berita Terkait