Indonesia Kekurangan Aturan ?

Era Omnibus Law, Hilang Sudah Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup

Era Omnibus Law, Hilang Sudah Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup

Tata kelola lingkungan yang buruk, dan persoalan lahan yang terjadi biasanya dirasakan oleh masyarakat di wilayah terdampak. Foto: Ian Morse

PEKANBARU AKTUALDETIK.COM - Banjir, kekeringan, tanah longsor, dan lain sebagainya dewasa ini semakin lama semakin terlihat sebagai kenormalan kondisi lingkungan bagi masyarakat, tak lupa juga kebakaran hutan yang kerap menimbulkan polutan asap setiap tahunnya. Seperti dilansir dari Forest Watch Indonesia berikut ini.

Semakin rusaknya kondisi lingkungan hidup di Indonesia secara nyata telah dirasakan oleh sebagian masyarakat. Beberapa bukti nyata seperti bencana-bencana alam yang berkaitan erat dengan kondisi lingkungan semakin sering terjadi.

Bahkan jika kita menganalisa data BPNP terkait jumlah bencana, 70 persen kejadian bencana yang sudah terjadi sangat erat kaitannya dengan semakin berkurangnya kualitas dan kuantitas hutan dan lingkungan hidup.

Tidak hanya bencana, semakin rusaknya kondisi lingkungan juga diringi dengan tidak terselesaikan dan semakin bertambahnya konflik-konflik agraria. Fakta di lapangan sering mengungkap bagaimana bermunculannya konflik-konflik di suatu wilayah tanpa adanya penyelesaian fundamental.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula, tampaknya menjadi peribahasa yang tepat untuk menyatakan hal ini. Kondisi ini tentu memerlukan upaya pembenahan secara menyeluruh, dimana pembenahan tata kelola lingkungan hidup saat ini sangat diperlukan mulai dari wilayah hulu sampai ke wilayah hilir.

Lalu apakah Indonesia kekurangan aturan dan perundang-undangan untuk mengatasi permasalahan ini?

Sebenarnya, telah ada undang-undang yang mengatur secara detail terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia yaitu UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Ruang lingkup yang ada dalam UU PPLH telah mengurutkan instrumen-instrumen yang seharusnya dijalankan oleh negara. Mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakkan hukum. Meski dalam implementasinya, kerap UU ini hanya dijadikan sebagai bagian syarat administratif dan melupakan semua ruang lingkup yang seharusnya menjadi mandat konstitusi.

Adapun disahkannya UU Cipta Kerja (Ciptaker) memperlihatkan keengganan negara dalam mengelola dan menghadirkan lingkungan yang lebih baik. Dalam tulisan ini, penulis akan menjabarkan aturan-aturan yang akan berubah dari UU PPLH dengan diberlakukannya omnibus law.

Perencanaan di Dalam UU PPLH

Perencanaan menjadi urutan instrumen paling awal yang ada di dalam UU PPLH. Hal ini menandakan proses-proses perencanaan menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Dalam ruang lingkup perencanaan didalamnya terdapat inventarisasi, penetapan wilayah ekoregion, dan penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).

Inventarisasi dalam mandat UU PPLH pun tidak hanya sekedar mendata potensi sumberdaya alam, tetapi ada juga hal-hal lainnya seperti bentuk penguasaan dan konflik sosial.

Inventarisasi menjadi esensi pada ruang lingkup perencanaan lanjutan seperti penetapan wilayah ekoregion, dan penyusunan RPPLH.

Penetapan wilayah ekoregion, RPPLH, dan rencana pemanfaatan ruang akan menjadi tidak tepat jika inventarisasi lingkungan hidup sebelumnya tidak dilakukan dengan benar.

Mengacu pada UU PPLH, seharusnya RPPLH nasional menjadi dokumen yang paling utama untuk segera diselesaikan, karena akan menjadi acuan RPPLH di tingkat Provinsi dan kabupaten.

Sebagai catatan, pasca UU PPLH disahkan, peta ekoregion diluncurkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup di tahun 2013. Setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan digabungkan, pada tahun 2018 Menteri LHK mengeluarkan keputusan terkait peta ekoregion di Indonesia.

Sayangnya, perkembangan mengenai RPPLH nasional sendiri sebenarnya masih belum jelas. Sejak tahun 2015, draft peraturan pemerintahnya masih tertahan di Kementerian Hukum dan HAM.

Pada tahun 2015 pun baru ada 1 kota yang sudah lengkap seluruh dokumennya mulai dari naskah akademik, draft dokumen RPPLH, rancangan draft Perda, dan Perdanya itu sendiri.

Praktis, dapat dikatakan bahwa sebagian besar RPJP dan RPJM nasional ataupun daerah yang ada saat ini tidak berdasarkan RPPLH karena RPPLH nya sendiri belum terselesaikan.

Dalam kondisi seperti itu, Pasal 12 UU PPLH menjelaskan, bahwa pemanfaatan sumbedaya alam akan dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (DDDTLH).

Namun itu bukan berarti aturan RPPLH diabaikan.Dokumen DDDTLH sifatnya berupa alternatif, saat RPPLH belum selesai disusun dan disahkan. Bukan pula berarti menghapus kewajiban penyusunan RPPLH.

Komentar Via Facebook :