Investasi Dana Haji Dipertanyakan
Adakah Kepastian & Perlindungan Hukum Pengelolaan Dana Haji ?
PEKANBARU AKTUALDETIK.COM - Pengelolaan dana haji merupakan suatu hal yang sangat vital di Indonesia karena dana yang dikelola terbilang cukup besar dan harus sesuai dengan manfaat yang diterima oleh masyarakat.
Penginvestasian pada dana haji memang bertujuan agar dana yang dikelola diharapkan mampu memberi nilai lebih dikemudian hari, namun dilain sisi hal tersebut mengandung ketidakpastian hukum dan tidak ada perlindungan hukum bagi calon jamaah haji.
Hingga saat ini beberapa pasal yang menjadi kontroversi dari undang-undang tersebut pun masih menjadi polemik, bagaimana tidak berdasarkan kajian dari para pengguggat ke MK pun sudah dilakukan yang artinya hal ini tidak bisa disepelekan, akhir kata semua kembali kepada masyarakat yang menilai.
Polemik wacana penggunaan dana haji untuk infrastruktur ternyata “berbuah” gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) lewat pengujian beberapa pasal UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
Pemohonnya, calon jamaah haji yakni Muhammad Soleh, Muhammad Syafii, dan Andry Ermawan yang mempersoalkan Pasal 24 huruf a, Pasal 46 ayat (2), dan Pasal 48 ayat (1) UU Pengelolaan Keuangan Haji terkait kewenangan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang boleh menginvestasikan dana haji sesuai prinsip-prinsip yang telah digariskan.
“Hak konstitusional saya dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal itu. Saya merupakan salah satu pendaftar calon jamaah haji sejak tahun 2008,” ujar Muhammad Soleh usai sidang perbaikan pengujian UU Pengelolaan Keuangan Haji di Gedung MK Jakarta.
Pasal 24 huruf a berbunyi, Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, BPKH berwenang: a. Menempatkan dan menginvestasikan Keuangan Haji sesuai dengan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, dan nilai manfaat
Pasal 46 ayat (2) berbunyi, "Keuangan Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditempatkan dan/ atau diinvestasikan”.
Sementara Pasal 48 ayat (1) menyebutkan, “Penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji dapat dilakukan dalam bentuk produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung dan investasi lainnya.”
Muhammad Soleh menilai ketentuan pengelolaan dana haji ini mengandung ketidakpastian hukum dan tidak ada perlindungan hukum bagi calon jamaah haji.
Sebab, tidak diatur pengelolaan dana haji dengan mekanisme sistem haji reguler. Artinya, calon jemaah haji yang kebetulan setelah menunggu daftar tunggu selama 10 sampai 15 tahun, tiba-tiba saat akan berangkat tidak punya uang untuk melunasi.
“Akibatnya, nomor porsinya itu akan mundur dan akan diberikan kepada nomor yang dibelakangnya. Fakta ini memperkuat UU Pengelolaan Keuangan Haji tidak memberi perlindungan hukum terhadap calon jamaah haji,” ujarnya.
Menurutnya, dana haji yang jumlahnya kini mendekati angka sebesar Rp100 triliun seharusnya tidak hanya untuk sekedar investasi, tetapi juga terpenting untuk membantu calon jemaah haji yang kebetulan saat hendak berangkat haji tidak mampu membayar pelunasan. Makanya, dirinya tidak ingin terjebak pada perdebatan apakah investasi ini menggunakan prinsip syariah atau tidak.
“Yang jelas, saya sebagai pemohon sudah dirugikan secara konstitusional. Karena itu, Pemohon mengharapkan agar permohonannya dikabulkan seluruhnya dengan menyatakan Pasal 24 huruf a, Pasal 46 ayat (2), dan Pasal 48 ayat (1) UU Pengelolaan Keuangan Haji bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” pintanya.
Soleh juga menyayangkan keluarnya putusan MK No. 12/PUU-XIII/2015 terkait pasal setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH minimal Rp 25 juta).
Dalam salah satu pertimbangan putusan itu, Mahkamah berpendapat seseorang yang telah mendaftar dan membayar setoran awal BPIH dikualifikasi sebagai calon jemaah yang mampu, bukan sekadar mendaftarkan diri tanpa memiliki kemampuan finansial.
Dia menilai kebijakan pengelolaan keuangan haji untuk investasi ini hanyalah akal-akalan pemerintah dengan cara meninggikan BPIH sebesar Rp 25 juta per calon jamaah.
"Ini (sebenarnya agar pemerintah) dapat menumpuk triliunan rupiah. Dan kalau sudah menumpuk (dananya) dapat diinvestasikan,” tudingnya.
Ia membandingkan dengan Malaysia yang BPIH-nya hanya Rp 4 juta. Sedangkan Indonesia 25 juta per orang. Lalu, waiting listnya saat ini lebih dari 20 tahun. Saat ini, kemungkinan sudah lebih dari satu juta calon jemaah haji memiliki daftar tunggu.
"Semestinya, kalau memang mau mengikuti Malaysia, BPIH-nya seharusnya Rp 4 juta, maka jemaah haji tidak akan keberatan.”
Soleh berandai-andai jika seseorang mempunyai uang sebesar Rp 5 juta pada tahun ini, tentu dia tidak bisa daftar. Tetapi, 3 tahun kemudian dia bisa memiliki uang sebesar Rp 30 juta.
“Ini pun tidak bisa daftar sekarang (setelah 3 tahun itu karena biaya haji kemungkinan naik), sehingga harus menunggu tiga tahun lagi. Saya akan menunggu lebih lama lagi. Inilah yang dinamakan akal-akalan pemerintah. Sebab, faktanya sekarang untuk naik haji bisa merogoh kocek hingga Rp 60 juta, itu pun ada biaya tambahan uang lagi,” katanya.
Komentar Via Facebook :