Adakah Anggaran Siluman?
Pembahasan APBD Oleh Banggar "Rawan" Suap
PEKANBARU AKTUALDETIK.COM - Belajar dari kasus dibawah ini maka kita dapat mengetahui bahwa anggota Komisi DPR/DPRD sekaligus yang merangkap sebagai Badan Anggaran (Banggar) menjadi titik rawan dugaan adanya tindak pidana korupsi, pasalnya praktik titip menitip anggaran siluman sudah hal biasa terjadi, Selasa 17/11/2020.
Dimana saat proses pembahasan APBN/APBNP maupun APBD/APBDP, Banggar merupakan tempat untuk sinkronisasi dan pembahasan program kerja anggaran bersama pihak eksekutif (pemerintah) disetiap Kementerian/Lembaga maupun Dinas setempat di Provinsi/Kab/Kota.
Setelah mendengarkan dakwaan dari penuntut umum KPK pekan lalu, kini giliran dua terdakwa suap dalam pengurusan anggaran di Kementerian Agama (Kemenag), Zulkarnain Djabar dan anaknya, Dendi Prasetya melalui tim penasihat hukumnya membacakan nota keberatan (eksepsi) mereka.
Inti eksepsi kedua terdakwa adalah menganggap surat dakwaan penuntut umum KPK kabur atau obscuur libel.
Pertama, mengenai isi dakwaan yang menilai bahwa pemberian uang ke terdakwa Zulkarnain karena selaku anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR yang menyetujui anggaran di Kemenag. Menurut penasihat hukum kedua terdakwa, Erman Umar, uraian tersebut tidak jelas.
Karena, persetujuan anggaran tersebut datang dari lembaga DPR di mana terdiri dari tujuh orang anggota Komisi VIII dan empat pimpinannya yang juga bertugas di Banggar. Bukanlah persetujuan dari terdakwa Zulkarnain seorang.
Selain itu, terdakwa Zulkarnain bukanlah seorang koordinator Banggar di Komisi VIII.
“Sehingga tidak logis karena tidak ada korelasinya sama sekali apabila atas persetujuan yang diberikan terdakwa I (Zulkarnain) terhadap anggaran di Kemenag, terdakwa menerima hadiah berupa uang sejumlah Rp.14,3 miliar dari Abdul Kadir Alaydrus,” ujar Erman di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (4/2).
Menurut penasihat hukum, selaku anggota DPR, tugas terdakwa Zulkarnain di bidang anggaran adalah membahas dan menetapkan anggaran pemerintah baik APBN maupun APBNP yang ditetapkan di sidang paripurna dan ditetapkan sebagai UU.
Selain pimpinan Komisi VIII, tujuh anggota Komisi VIII yang juga merangkap sebagai anggota Banggar.
Mereka terdiri dari Fraksi Partai Demokrat dua orang, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDIP satu orang, Fraksi PKS, fraksi PAN dan Fraksi FPPP masing-masing satu orang.
Sebagai anggota Komisi VIII, terdakwa Zulkarnain bersama anggota Banggar di Komisi VIII lainnya menyampaikan hasil pembahasan anggaran yang dilakukan melalui rapat kerja atau rapat dengar pendapat dengan pemerintah selaku mitra kerja ke rapat pleno Banggar.
Kemudian di rapat pleno Banggar tersebut dilakukan pembahasan secara menyeluruh. Hasil dari pembahasan rapat pleno disampaikan kembali ke Komisi VIII untuk ditetapkan program anggarannya.
Program anggaran itu lalu dikoordinasikan dan disinkronisasikan dengan pemerintah dan akhirnya dituangkan dalam surat pimpinan Komisi VIII ke Banggar DPR.
Selanjutnya, di Banggar dilakukan lagi rapat pleno bersama pemerintah untuk dilakukan sinkronisasi anggaran pada semua kementerian dan lembaga.
Setelah itu baru disahkan dalam rapat pleno Banggar yang diawali dengan pandangan dari tiap fraksi. Setelah fraksi menyampaikan pendapatnya dan disetujui diteruskan ke pimpinan DPR untuk disahkan dalam rapat paripurna.
“Persetujuan terdakwa I (Zulkarnain) sebagai anggota DPR adalah merupakan bagian dari kewajibannya sebagai anggota Banggar DPR, begitupun anggota Banggar DPR yang lainnya,” tutur Erman.
Atas dasar itu, tim penasihat hukum meminta agar majelis hakim menerima nota keberatan (eksepsi) yang diajukan, menyatakan surat dakwaan penuntut umum KPK kabur (obscuur libel), membebaskan terdakwa Zulkarnain dan terdakwa Dendy dari tahanan dan membebankan biaya perkara ditanggung oleh negara.
Pengaruhi Obyektifitas
Dalam kesempatan yang sama, tim penasihat hukum juga menyayangkan berbagai pemberitaan yang muncul terkait kedua kliennya.
Menurut Mustika Apriliawati, berbagai pemberitaan tendensius yang muncul sebelum dilakukannya pemeriksaan terhadap kedua terdakwa dikhawatirkan dapat mempengaruhi obyektifitas penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan.
Kondisi yang dikhawatirkan itu terlihat dengan adanya penetapan tersangka terhadap kedua terdakwa dilakukan sebelum adanya pemeriksaan.
Padahal, penetapan seseorang sebagai tersangka sebelum pemeriksaan hanya bisa dilakukan dalam kondisi tangkap tangan. Jika tidak dalam kondisi tangkap tangan maka harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu.
“Tersangka bukan karena tertangkap tangan dan juga bukan karena didahului dengan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan bahkan belum pernah dimintai keterangan pada waktu penyelidikan dan juga belum pernah diperiksa sebagai saksi di penyidikan, sehingga asas praduga tak bersalah sebagaimana yang diatur di dalam KUHAP tak dapat dilaksanakan,” ujar Mustika.
Selain itu, pemberitaan yang tendensius dengan menulis kedua terdakwa korupsi Al Quran membuat terdakwa Zulkarnain sangat terpukul. Hal ini dikarenakan, dugaan korupsi yang ada dikatikan dengan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam.
“Di mana terdakwa merasa meninggal sebelum ajalnya tiba dan merasa sudah divonis sebelum majelis hakim mengambil keputusannya,” katanya.
Atas eksepsi ini, tim penuntut umum KPK juga akan mengajukan tanggapannya secara tertulis. Majelis hakim yang dipimpin Aviantara melanjutkan sidang dengan agenda pembacaan tanggapan dari tim penuntut umum pada Senin tanggal 11 Februari 2013, pekan depan.
Komentar Via Facebook :